Prihatin! Mengapa Oknum Dukuh di Gunungkidul Kerap Terlibat Perselingkuhan dan Tindakan Asusila?

Pamong Kalurahan Seharusnya Menjadi Teladan, Bukan Justru Menodai Kepercayaan Warga

MCI – Gunungkidul, DIY | Gelombang keprihatinan masyarakat Gunungkidul terus bergulir seiring mencuatnya kembali kasus dugaan perselingkuhan dan tindakan tidak senonoh yang melibatkan oknum dukuh atau kepala dukuh. Fenomena ini bukan baru terjadi sekali dua kali. Dalam beberapa tahun terakhir, sederet kasus serupa menghantam kepercayaan publik terhadap para pamong kalurahan yang semestinya menjadi contoh dan pengayom masyarakat.

Sebagai figur publik yang hidup berdampingan langsung dengan warganya, dukuh semestinya menjaga integritas, perilaku, serta moralitas. Namun sayangnya, tidak sedikit dari mereka justru tercatat dalam lembaran hitam pelanggaran etika, dari perselingkuhan hingga pencabulan. Ini bukan hanya mencoreng nama pribadi, tapi juga merusak citra kelembagaan pemerintah desa dan kalurahan.

Lantas, mengapa hal ini terus berulang?

Lemahnya Pengawasan dan Minimnya Sanksi Tegas

Fenomena ini memperlihatkan adanya celah dalam sistem pengawasan serta lemahnya sanksi administratif terhadap pelanggaran moral yang dilakukan oleh pamong. Banyak dari mereka yang akhirnya hanya mendapat teguran atau mutasi, tanpa proses hukum yang adil dan transparan. Bahkan, tidak sedikit yang tetap menjabat, seolah-olah peristiwa tersebut dapat dikubur dan dilupakan begitu saja.

Jika tindakan tidak terpuji ini dibiarkan tanpa konsekuensi tegas, bukan tidak mungkin akan muncul oknum-oknum baru yang berani melanggar norma karena merasa aman dari jerat sanksi.

Baca juga :  https://mediacitraindonesia.com/gunungkidul-luncurkan-program-wakaf-uang-untuk-dukung-penurunan-stunting-dan-penguatan-ekonomi-umat/

Perlu Aturan Tegas dan Terbuka dari Pemerintah Daerah

Pemerintah Kabupaten Gunungkidul tidak bisa terus menutup mata. Sudah waktunya disusun sebuah regulasi khusus yang mengatur perilaku dan kode etik bagi pamong kalurahan, termasuk sanksi yang tegas dan terbuka apabila terjadi pelanggaran. Peraturan tersebut harus dapat menjangkau sisi moral dan profesionalitas, karena pamong bukan hanya aparat desa biasa — mereka adalah representasi negara di tingkat lokal.

Selain itu, masyarakat juga berhak tahu siapa saja pamong yang pernah atau sedang menjalani proses disipliner agar ada kontrol sosial yang sehat. Keterbukaan ini bisa menjadi tekanan moral yang kuat agar pamong menjaga sikap dan tidak semena-mena menggunakan jabatan untuk melanggar batas-batas etika.

Dari Dukuh Menjadi Contoh, Bukan Justru Malu-Maluin

Tidak ada yang salah dengan jabatan dukuh — yang salah adalah ketika kekuasaan kecil itu disalahgunakan untuk kepentingan pribadi dan syahwat sesaat. Bila dukuh-desa bisa berubah menjadi contoh teladan, maka Gunungkidul akan melahirkan pamong-pamong berkualitas yang dicintai rakyatnya. Tapi jika terus dibiarkan seperti ini, bukan tidak mungkin masyarakat akan kehilangan rasa hormat pada seluruh pamong kalurahan — padahal mayoritas mereka adalah orang baik.

Kini, bola panas ada di tangan pemerintah. Akankah ada langkah nyata? Ataukah kita akan menunggu kasus berikutnya untuk kembali terkejut dan sekadar mengelus dada?

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *