MCI – Gunungkidul, DIY 5 Agustus 2025 – Harapan para petani Padukuhan Petir C, Kalurahan Petir, Gunungkidul, sirna seketika usai panen raya ketela yang seharusnya membawa untung justru mendatangkan kerugian besar. Harga jual ketela turun drastis hingga hanya Rp 500 per kilogram, jauh di bawah harga normal Rp 1.500. Gaplek pun hanya laku Rp 1.500/kg, turun dari sebelumnya Rp 2.500/kg.
Wardoyo, petani lokal, tak kuasa menahan tangis saat menyaksikan hasil panennya membusuk akibat hujan deras yang mengguyur selama proses penjemuran. Ketela yang telah dikupas dan dijemur menjadi gelap, sebagian bahkan ditumbuhi jamur.
“Kami panen banyak, tapi malah rugi. Kami mohon pemerintah bantu normalkan harga lagi,” keluh Wardoyo, dengan suara gemetar.
Mayoritas warga Kalurahan Petir — sekitar 96% penduduk — adalah petani. Menurut Lurah Petir, Sarju Riyanto, luas wilayah desa mencapai 10.000 hektare, dengan sekitar 70% di antaranya adalah lahan pertanian aktif. Namun, kontur wilayah perbukitan membuat pengolahan lahan tidak merata.
Sarju menjelaskan bahwa petani telah memperkirakan musim kemarau datang dari Juli hingga Oktober. Namun pada awal Agustus justru turun hujan lebat, menghancurkan proses pengeringan ketela.
“Akibatnya fatal. Gaplek hitam, beratnya berkurang, harganya anjlok. Warga rugi besar,” ujarnya prihatin.
Sebagai bentuk bantuan sementara, pemerintah telah menyalurkan Cadangan Beras Pemerintah (CBP) kepada sekitar 480 kepala keluarga dari total 1.268 KK. Namun menurut Sarju, bantuan itu belum cukup untuk menutupi kerugian ekonomi para petani.
Totok Daryanto, Anggota Komisi XI DPR RI dari Fraksi PAN Dapil DIY, langsung turun ke lokasi. Ia menyatakan keprihatinan mendalam dan menegaskan bahwa nasib petani ketela harus mendapat perhatian setara seperti petani padi.
“Saat padi panen, Bulog turun tangan. Tapi ketela? Tidak ada yang menjamin. Ini perlu perhatian khusus dari Presiden Prabowo,” tegas Totok.
Totok mengusulkan agar fungsi Bulog diperluas atau dibentuk lembaga khusus seperti Koperasi Merah Putih untuk mengatur harga dan distribusi komoditas non-padi seperti ketela, singkong, jagung, dan lainnya.
Masalah anjloknya harga ketela di Gunungkidul bukan hanya soal ekonomi lokal, tetapi berpotensi menjadi krisis nasional sektor pangan alternatif jika tidak segera ditangani. Panen raya seharusnya membawa kesejahteraan, bukan penderitaan.
Para petani Gunungkidul kini berada di ujung tanduk akibat panen melimpah yang tak sebanding dengan harga jual. Hujan salah musim memperparah kondisi. Diperlukan intervensi cepat dan menyeluruh dari pemerintah pusat, agar petani tidak terus menjadi korban dari ketidakpastian pasar dan cuaca.