Pergi Tanpa Pelukan Terakhir: Tangis Orang Tua di Tepi Sungai Kamal

Kegiatan sekolah yang seharusnya membawa tawa dan pelajaran berakhir menjadi duka mendalam. Seorang bocah kelas dua SD tenggelam saat outbond tanpa pemberitahuan kepada orang tua. Kini, hanya air mata dan kenangan yang tersisa di tepi Sungai Kamal.

MCI Gunungkidul, DIY — Rabu malam, 15 Oktober 2025, suasana di Padukuhan Kamal, Kalurahan Wunung, Kapanewon Wonosari, mendadak berubah muram. Lampu-lampu senter warga menyorot ke permukaan air Sungai Kamal, tempat tubuh kecil seorang bocah ditemukan tak bernyawa.

Supriyadi dan istrinya, Dewi Cahya Putri, berdiri lemas di tepi sungai. Mereka tak pernah menyangka, kegiatan sekolah yang diikuti putra sulung mereka, GS, justru menjadi akhir dari hidup anak yang baru berusia 10 tahun itu.

“Katanya cuma kegiatan pramuka biasa, selesai jam 14.30. Tidak ada kabar kalau anak-anak dibawa ke sungai,” tutur Dewi lirih, menahan air mata yang tak henti mengalir.

Ketika Tas dan Sepatu Jadi Pertanda Buruk

Menjelang sore, Dewi mulai gelisah karena GS tak juga pulang. Ia berusaha berpikir positif — mungkin kegiatan pramuka molor sedikit. Namun kegelisahan itu berubah jadi duka ketika seorang guru datang membawa tas dan sepatu milik GS.

“Katanya tas itu ditemukan di pinggir sungai. Tapi waktu itu tidak bilang anak saya di mana. Saya kira anaknya masih di sekolah,” kenang Dewi dengan suara parau.

Pencarian di Tengah Tangis dan Harapan

Di waktu yang sama, Supriyadi yang tengah bekerja di Semanu menerima kabar buruk lewat telepon. Tanpa pikir panjang, ia segera meninggalkan pekerjaannya dan bergegas pulang dengan hati yang diliputi kecemasan.

“Waktu itu saya baru nyupir, baru nganter kerjaan. Begitu dengar kabar, saya langsung balik,” ujarnya.

Malam itu, warga bersama relawan menyusuri tepian Sungai Kamal dengan senter dan doa. Namun sekitar pukul 20.00 WIB, harapan berubah menjadi nestapa. Tubuh kecil GS ditemukan mengapung di sungai, hanya beberapa meter dari rumahnya.

Tangis histeris Dewi menggema di antara warga. Supriyadi memeluk tubuh anaknya yang dingin dan kaku. “Ini takdir yang harus kami terima,” ucapnya pelan. “Tapi saya berharap ada kebaikan yang lahir dari peristiwa ini.”

Kelalaian yang Mengorbankan Nyawa

Dewi menyesalkan keputusan sekolah yang membawa 86 siswa ke sungai tanpa izin orang tua dan tanpa pengawasan memadai.

“Hanya ada dua pembina pramuka yang mendampingi. Untuk anak sebanyak itu, di dekat sungai pula, sangat tidak masuk akal,” ujarnya tegas.

Baca juga :  https://mediacitraindonesia.com/outbond-berujung-duka-siswa-sd-di-gunungkidul-tewas-tenggelam-di-sungai-kamal/

Ia juga mendapat kabar bahwa dua siswa lain sempat tenggelam lebih dulu, namun berhasil diselamatkan. Meski begitu, kegiatan tidak langsung dihentikan. “Sampai sekarang belum ada penjelasan resmi dari pihak sekolah,” tambahnya getir.

Sungai yang Kini Menyimpan Duka

Keesokan paginya, rumah keluarga Supriyadi dipenuhi pelayat. Warga datang membawa doa, pelukan, dan air mata. Di ruang tamu, foto GS berseragam merah-putih terpajang di atas meja kecil, dikelilingi bunga melati dan nyala lilin.

Jagabaya Kalurahan Wunung, Agung Kurniawan, membenarkan bahwa korban ditemukan sekitar pukul delapan malam. “Anak itu sudah dicari sejak siang oleh pihak sekolah dan warga,” ujarnya.

Hasil pemeriksaan medis di RSUD Wonosari memastikan penyebab kematian korban adalah tenggelam.

Sekolah Bungkam, Orang Tua Masih Menunggu Penjelasan

Hingga Kamis pagi, belum ada keterangan resmi dari pihak sekolah. Supriyadi dan Dewi hanya ingin kejelasan dan tanggung jawab.

“Saya belum berpikir menempuh jalur hukum. Saya hanya ingin tahu, kenapa anak saya bisa tenggelam saat kegiatan sekolah,” kata Supriyadi tegas.

Pelajaran yang Ditulis dengan Air Mata

Tragedi di Sungai Kamal menjadi peringatan keras bagi dunia pendidikan. Kegiatan luar kelas semestinya mengajarkan keberanian dan kemandirian — bukan berakhir dengan kehilangan nyawa.

Kini, Sungai Kamal bukan lagi sekadar aliran air. Ia menjadi saksi bisu atas kecerobohan manusia yang melalaikan tanggung jawab. Bagi Dewi, setiap riak air di sungai itu kini menyimpan kenangan tentang tawa kecil anaknya.

“Anak saya sudah pergi,” ucapnya lirih, menatap aliran sungai yang tenang namun menyimpan luka. “Tapi saya tidak ingin ada anak lain yang bernasib sama.”

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *