MCI – Gunungkidul, DIY |Cinta saja ternyata tak cukup untuk mempertahankan bahtera rumah tangga di tengah tekanan hidup yang makin berat. Fakta ini tergambar jelas dari data Pengadilan Agama (PA) Wonosari, yang mencatat 904 perkara perceraian sepanjang triwulan III tahun 2025. Dari jumlah tersebut, 188 kasus di antaranya disebabkan oleh masalah ekonomi yang tak kunjung menemukan titik terang.
Menurut Humas PA Wonosari, Asep Ginanjar Maulana, tekanan finansial menjadi pemicu utama keretakan rumah tangga. Kebutuhan hidup yang tak seimbang dengan penghasilan membuat hubungan suami-istri perlahan retak dan kehilangan keharmonisan.
“Banyak yang awalnya bertahan, tapi lama-lama tak kuat. Tekanan ekonomi membuat hubungan kian rapuh, apalagi kalau komunikasi sudah tidak jalan,” ujar Asep, Jumat (10/10/2025).
Asep menuturkan, sebagian besar pasangan yang datang ke pengadilan sudah mantap untuk berpisah. Proses mediasi sering kali tak berhasil karena kedua pihak merasa jalan kembali sudah tertutup.
Selain faktor ekonomi, penyebab terbesar perceraian di Gunungkidul masih didominasi perselisihan dan pertengkaran berkepanjangan, mencapai 614 kasus atau 68 persen dari total perkara. Disusul ditinggalkan pasangan (75 kasus), kekerasan dalam rumah tangga (11 kasus), serta faktor lain seperti poligami, cacat badan, mabuk, murtad, hingga hukuman penjara.
Asep menekankan bahwa komunikasi adalah akar dari sebagian besar perceraian. Permasalahan kecil yang dibiarkan berlarut-larut tanpa penyelesaian sering kali berubah menjadi bara yang membakar keharmonisan rumah tangga.
“Masalah komunikasi itu ibarat benih kecil. Kalau dibiarkan tumbuh tanpa perawatan, ia akan menjadi pohon besar yang sulit ditebang. Banyak pasangan menunda penyelesaian masalah sampai akhirnya menyerah,” ungkapnya.
Untuk menekan angka perceraian yang kian meningkat, PA Wonosari terus mendorong edukasi pranikah dan memperkuat proses mediasi internal. Setiap pasangan yang mengajukan perceraian wajib menjalani tahap mediasi terlebih dahulu.
“Mediasi bukan formalitas. Kami ingin mereka benar-benar duduk bersama, mendengarkan satu sama lain. Kadang, sebaris kalimat tulus bisa menyelamatkan pernikahan yang nyaris karam,” tegas Asep.
Namun, ia mengakui bahwa banyak pasangan datang bukan untuk mencari solusi, melainkan untuk mengakhiri hubungan mereka.
“Kalau ekonomi jadi masalah utama, biasanya keputusan mereka sudah matang. Mereka datang bukan untuk mencari solusi, tapi untuk mengakhiri,” pungkasnya.
Asep mengingatkan, perceraian bukan sekadar berakhirnya hubungan dua insan, melainkan juga meninggalkan luka sosial yang panjang bagi anak, keluarga besar, dan masyarakat.
“Keluarga adalah fondasi masyarakat. Kalau fondasi itu rapuh, maka rapuh pula masa depan generasi berikutnya,” tutupnya.