“Gelaran Olah Rupa” FKY 2025 Hadir di Gunungkidul: Ruang Perjumpaan Seni, Tradisi, dan Masyarakat

Pameran seni visual bertema “Bertamu–Perjumpaan” ini menjadi bagian dari Festival Kebudayaan Yogyakarta 2025, menghadirkan kolaborasi 18 seniman dan tokoh adat dari berbagai wilayah di Gunungkidul.

MCI – Gunungkidul, DIY | Pameran seni visual bertajuk “Gelaran Olah Rupa” resmi dibuka sebagai bagian dari rangkaian Festival Kebudayaan Yogyakarta (FKY) 2025 di Lapangan Desa Logandeng, Kapanewon Playen, Kabupaten Gunungkidul. Pembukaan berlangsung khidmat pada Kamis malam (10/10) dengan penancapan dupa secara simbolis oleh Kepala Dinas Kebudayaan DIY Dian Lakshmi Pratiwi, bersama para kurator Karen HardiniTomi Firdausko-kurator Ghofur S, serta Lurah Logandeng Suhardi.

Acara diawali dengan Tari Pisungsung dari Sanggar Swastiastuti. Lima penari perempuan tampil membawa bakul bunga tabur, diiringi mantra dan musik tradisional yang menghadirkan nuansa sakral—melambangkan harmoni antara manusia, alam, dan Tuhan.

Festival Kebudayaan yang Libatkan Masyarakat Lokal

Dalam sambutannya, Dian Lakshmi Pratiwi menegaskan bahwa rebranding FKY yang kini memasuki tahun ketiga bertujuan untuk menghadirkan festival kebudayaan yang tumbuh bersama masyarakat lokal.

“FKY bukan sekadar tontonan, tapi ruang kolaborasi antara seniman, kurator, dan warga di mana festival itu berada,” ujarnya.

Pameran “Gelaran Olah Rupa” menjadi wujud nyata kolaborasi tersebut, menghadirkan dialog budaya melalui praktik bertamu, sebagaimana filosofi Jawa yang menekankan adab dan penghormatan terhadap tuan rumah.

18 Seniman dan Tokoh Adat Kolaborasi dalam “Residensi Pekan Sowan”

Baca juga :  https://mediacitraindonesia.com/ketika-cinta-tak-bisa-membayar-tagihan-904-pasangan-di-gunungkidul-ajukan-cerai-ekonomi-jadi-salah-satu-penyebab/

Sebanyak 18 seniman dan tokoh adat terlibat dalam pameran ini, dibagi menjadi 9 kelompok yang sebelumnya mengikuti program Residensi Pekan Sowan selama 7 hari (28 September–5 Oktober 2025) di berbagai wilayah Gunungkidul, antara lain Logandeng, Giring, Semin, Pantai Siung, Purwodadi, Ngalang, Petir, Pathuk, dan Playen.

Menurut kurator Karen Hardini, pameran di Gunungkidul merupakan bentuk “kulonuwun” atau perkenalan dengan masyarakat lokal.

“Kami hendak melakukan perjumpaan yang bukan hanya sekadar pertemuan, tetapi juga pertukaran makna dan pengalaman,” jelasnya.

Ruang Bertamu, Ruang Berkarya

Kolaborasi antara seniman luar dan komunitas lokal menjadi roh pameran ini. Beberapa di antaranya:

  • Ikatan Perupa Gunungkidul x Nabila Rahma & Tiang Senja (Giring)
  • Sibagz x Vendy Methodos (Ponjong)
  • Trah Sekar Jagat x Reza Kutjh (Girisekar)
  • Raden Kukuh Hermadi x Titik Kumpul Forum (Pathuk)
  • Mbah Bambang & Mbah Saido x Survive! Garage (Pantai Siung)
  • Endry Pragusta x Arief Mujahidin (Logandeng)
  • Lumbung Kawruh x A.O.D.H (Petir)
  • RESAN Gunungkidul x M Shodik (Playen)
  • Ibu-ibu KWT Ngalang x Kolektif Matrahita (Ngalang)

Seniman Nabila Rahma menyebut bahwa kolaborasi lintas generasi ini memberi pengalaman baru yang menantang.

“Kalau kolaboratornya sebaya, mungkin tidak akan ada percikan yang seru. Seperti kembang api, keindahannya justru karena percikan-percikannya,” ujarnya.

Agenda dan Kegiatan Lanjutan

Pameran “Gelaran Olah Rupa” akan berlangsung 11–18 Oktober 2025, setiap hari pukul 10.00–21.00 WIB di Lapangan Desa Logandeng, Gunungkidul. Kegiatan ini terbuka untuk umum, menghadirkan karya yang diolah secara langsung di ruang terbuka, sehingga pengunjung dapat berinteraksi dan menjadi bagian dari proses kreatif seniman.

Sebagai bagian dari rangkaian acara, akan digelar sesi wicara bertajuk “DAYA SENI DARI DENYUT HIDUP? Catatan Pekan Hunian Seniman FKY 2025” pada 15 Oktober 2025, menghadirkan Matrahita, Lumbung Kawruh, Survive! Garage, dan Ignatius Kendal untuk berbagi refleksi atas proses residensi dan pameran.

“Gelaran Olah Rupa” bukan hanya pameran seni, melainkan ruang hidup yang mempertemukan gagasan, pengalaman, dan kebudayaan lokal. Di bawah semangat Bertamu–Perjumpaan, Gunungkidul menjadi titik temu bagi seni, masyarakat, dan nilai-nilai kearifan lokal yang terus berdenyut di tengah zaman.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *