Harga Ketela Anjlok, Dinas Pertanian Gunungkidul Ajak Kolaborasi dan Siapkan Solusi Berbasis Olahan

Kepala Dinas Rismiyadi: “Petani Perlu Didampingi Hadapi Cuaca dan Pasar — Industri Olahan Jadi Jawaban Masa Depan Singkong”

MCI – Gunungkidul, DIY |6 Agustus 2025 – Menyikapi anjloknya harga ketela hingga Rp 500/kg dan gaplek yang hanya laku Rp 1.500/kgKepala Dinas Pertanian dan Pangan Gunungkidul, Rismiyadi, SP, M.Si, menyampaikan keprihatinan dan menyatakan komitmen penuh untuk mendampingi para petani dalam menghadapi tantangan ini.

Dalam wawancaranya, Rismiyadi menjelaskan bahwa kondisi cuaca yang tidak menentu serta panen serentak di berbagai wilayah menjadi faktor utama yang memengaruhi jatuhnya harga.

“Kami memahami betul kondisi petani saat ini. Banyak ketela yang sudah dijemur malah kehujanan, karena cuaca sulit diprediksi. Ini bukan kesalahan petani, tetapi tantangan bersama yang harus kita cari jalan keluarnya,” ungkap Rismiyadi.

Panen ketela yang hanya terjadi sekali dalam setahun dan dilakukan secara serempak, baik di Gunungkidul maupun di daerah lain seperti Pracimantoro (Wonogiri), membuat pasokan membanjir pasar dalam waktu bersamaan.

“Ketika pasokan melimpah dan permintaan stagnan, tentu saja harga akan menurun. Ini hukum pasar yang tidak bisa dihindari. Namun, ini juga menjadi titik tolak bagi kita untuk memperkuat sistem pengolahan dan hilirisasi,” ujarnya.

Baca juga :  https://mediacitraindonesia.com/petani-gunungkidul-menangis-harga-ketela-anjlok-jadi-rp-500-kg-panen-melimpah-malah-bikin-rugi/

Rismiyadi juga menggarisbawahi bahwa saat ini hanya dua pabrik pengolahan gaplek yang masih aktif di wilayah Gunungkidul. Hal ini menyebabkan petani lebih bergantung pada tengkulak, yang tentu saja menawarkan harga lebih rendah.

“Kami di Dinas tidak tinggal diam. Ke depan, akan kita dorong kolaborasi agar pabrik bisa lebih aktif menyerap hasil petani, dan distribusi tidak terhambat,” katanya.

Sebagai solusi jangka pendek, pihak Dinas menyarankan agar proses penjemuran dilakukan di tempat yang lebih aman, seperti di sekitar rumah atau fasilitas kelompok tani, guna menghindari kerusakan akibat hujan mendadak.

Sementara untuk jangka panjang, Dinas kini aktif mengembangkan industri olahan berbasis singkong, seperti:

  • Tepung mokaf (tepung dari ubi kayu yang menyerupai terigu)
  • Produk kreatif lainnya seperti keripik, lempeng, hingga patilo

“Kami ingin petani tidak hanya menjual bahan mentah, tapi juga masuk ke ranah pengolahan. Nilai tambahnya luar biasa. Misalnya tepung mokaf bisa laku hingga Rp 15.000/kg,” terang Rismiyadi.

Menanggapi pertanyaan soal kebijakan stabilisasi harga, Rismiyadi menjelaskan bahwa ketela masih belum masuk dalam daftar komoditas strategis nasional yang memengaruhi inflasi, berbeda dengan padi, jagung, dan tebu.

“Ini tantangan bagi kami untuk terus mengadvokasi agar singkong juga mendapat perhatian nasional. Tapi sambil itu berjalan, kami fokus membangun kekuatan lokal dulu,” tambahnya.

Dinas Pertanian dan Pangan Gunungkidul menegaskan bahwa kerja sama antara petani, pemerintah, dan pelaku industri adalah kunci dalam menghadapi dinamika harga ketela. Inovasi pengolahan dan penguatan pasca-panen akan terus digalakkan demi menjaga stabilitas ekonomi petani.

“Petani adalah mitra strategis pembangunan daerah. Kami hadir bukan hanya sebagai regulator, tapi sebagai pendamping dan fasilitator menuju pertanian yang tangguh dan berkelanjutan,” tutup Rismiyadi.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *